Jumat, 30 Oktober 2015

Cerpen edisi Oktober 2015

Assalamualaikum, ini tulisanku edisi Oktober. silahkan dikonsumsi dengan baik. yang baik diambil, yang jelek dibuang saja. silahkan kritik dan saran dikolom komentar. Terima Kasih...


TERKESIMA

Terkadang tak perlu berharap ketika hal itu sudah tak pasti menjadi milik kita, hanya saja ada satu diantara banyak hal yang ingin aku pertahankan agar harapan itu tak berakhir luka. Aku ingin mempertahankan apa yang ku yakini sesuatu itu kelak akan ku genggam.

Rasaku tak henti-hentinya bergejolak, ku rasakan candu yang kian membumbung. Mungkin itu sisa tangis kemarin yang enggan ku bisikkan pada siapa pun. Meskipun pada rembulan yang sedang bertengger di ranting pohon perdu sekalipun.
Aku khidmat menatap kearahnya. Berdiri di balik tembok raksasa pun aku mampu merasakan detak jantungnya. Tak perduli apa yang akan terjadi padaku ketika hal ini tak berbalas. Mungkin hanya sedikit mengalami pendarahan di hati dan pembekuan rasa di setiap sendi-sendiku.

Tiba-tiba saja... “BRAAKK” sentakan tangan itu mengagetkan ku. Tak lain dan tak bukan itu pasti Gilang. Cowok resek yang selalu membuatku kesal jika berada didalam ruangan dengannya. Meskipun dia begitu resek, di sisi lain dia memiliki sifat yang tidak banyak diketahui oleh teman-teman sekelas. Sifat lembut itu ternyata masih ada dalam diri Gilang. Sosok yang tak akan pernah di pandang baik oleh sebagian orang karena sifat ke kanak-kanakan yang tak bisa ia kontrol. Salah dalam menyampaikan maksud baik, hingga tak jarang ia dihiraukan. Aku terperangah saat tak sengaja melihatnya sore itu berdiri di dekat toko bunga yang berada dipersimpangan jalan. Saat ku pakai kacamataku, sepertinya aku tak salah liat. Gilang sedang berlutut di hadapan gadis itu. Dari gelagatnya, aku bisa menangkap apa yang tergambar dari suasana sore menjelang senja itu.

“Mungkinkah cinta dapat mengubah keseluruhan sifat seseorang?” sepanjang perjalanan aku termenung. Gilang bukan sosok orang yang mudah jatuh cinta. Aku tau persis sifatnya, dengan perlahan aku mempelajari karakter orang yang sering berada di sekitarku, termasuk Gilang. Rupanya Tuhan punya rencana istimewa untuk setiap hambanya. Tuhan ingin merubah sifat Gilang lewat tangan Gadis berjilbab itu. Cinta mengalahkan kehendak sang Empunya.
Malam yang dihiasi langit hitam nan pekat dan hembusan semilir riuh angin yang menusuk tulang-tulangku ini, aku duduk dengan kaki bersilah. Dan ingatanku tentang Gilang hadir. Temanku itu, benar-benar beruntung. Ia akhirnya dapat menikahi bidadari surganya setelah mendapat beasiswa ke London untuk melanjutkan kuliah dengan gelar Master. Kado super double yang Tuhan janjikan itu tak pernah diingkarinya.

Perasaan tertarik kepada lawan jenis itu selalu hadir, itu manusiawi menurutku. Anehnya, ketika ada sosok yang aku sukai, rupanya Tuhan menjauhkan ia dariku. Dan ketika aku tak pernah berharap pada lelaki manapun, tiba-tiba Tuhan menghadirkan sosok yang tak pernah aku sangka. Aku belajar dari itu semua. Aku berusaha menenggelamkan sedalam mungkin perasaanku pada “Dia”. Meskipun saat melihatnya dari kejauhan sekalipun, hatiku berdebar tak karuan.

Bukanlah Cinta jika tak merasakan getaran jiwa yang luar biasa, semua insan memiliki respon yang sama pada pujaannya. Aku berpikir bagaimana membangun Human Relation yang baik meskipun saat sedang bertatap muka dengannya, dalam konteks wawancara. Yaa.. aku seorang wartawan kampus di sebuah Universitas ternama di kota Makassar. Aku mengenal banyak orang. Aku berbaur dengan berbagai kalangan baik dari tingkat strata sosial rendah hingga menengah keatas. Demi mendapatkan informasi untuk suatu lembaga dimana aku bernaung di dalamnya.

Membutuhkan waktu lama untuk aku mendapatkan liputan khusus. Namun terkadang karena keberuntungan, tiba-tiba pada suatu waktu Tuhan mempertemukan aku dengannya. Sekuat tenaga mempertahankan mimik wajah ku. Sesekali mengusap telapak tanganku ke kemeja yang ku kenakan agar ketika berjabat tangan tak terkesan kalau aku gugup. Waaah... untuk pertama kalinya aku grogi mewawancarai orang. Baru pertama kali ada keturunan Adam yang membuatku ingin lari saat wawancara akan di mulai.
“Bissmillah, Tuhan jangan buat aku kalah di depan iblis yang selalu menghasutku. Jangan biarkan aku terlihat aneh di hadapan pria ini. Buat pertemuan kami kali ini berkesan, setidaknya untuknya,” Hatiku berkecamuk.

Aku menutup telepon dengan segera, dan berlari menuruni anak tangga dengan hati-hati, setibanya di lantai dasar, aku tercengang. Pria ini yang tadi berjalan di belakangku. Aku segera bertanya perihal Profil Lembaga yang akan di angkat pada terbitan Tabloid edisi kali ini. Aku seketika terpaku. Terasa bibirku tak bisa berucap saat menatap matanya.
Ku buka pintu Redaksi dan menutupnya segera. Terdiam sejenak, seketika aku bersandar di tembok dan terasa getaran jantungku tak seperti biasanya.
“Oh Tuhan, serasa dadaku ingin meledak. Semoga ini bukan nafsu semata. Hambamu terkesima oleh makhluk ciptaanmu itu,” perlahan aku menjulurkan kedua kakiku yang sedang gemetaran.
Sesampainya di rumah, aku menghempaskan tubuh ku tanpa melepas alas kaki. Wajah yang kusam, pakaian yang acak-acakkan, menuntutku untuk segera membersihkan diri sebelum Bunda mengoceh dari ruang tamu. Setelah beres, aku menghampiri Bunda di dapur dan membantu menyiapkan makan malam. Sesekali aku tersenyum, rupanya Bunda memperhatikan tingkahku yang aneh itu.

“apa yang sedang kamu pikirkan Ashima? Bunda perhatikan kamu tersenyum terus semenjak keluar dari kamarmu. Apa ada yang lucu dari penampilan Bunda? Ini baju Ayah kamu yang belikan loh, apa tampak tidak bagus Bunda kenakan?”
Aku tertawa geli mendengar ocehan Bunda yang nampaknya tersinggung oleh sikapku.
“ Bukan gitu Bunda, Bunda cantik banget malam ini, apalagi memakai baju pemberian Ayah itu. Ashima gak lagi menertawakan Bunda, ada sesuatu hal yang sedang bersarang di pikiran ku Bun. Dan itu Bunda gak harus tahu ya,” Kataku terkekeh
“Hal apa kali ini yang membuat Putri satu-satunya Bunda ini begitu bahagia. Biasanya nih kalau bahagia gini pasti karena berita kamu terbit lagi. Perasaan Bunda setiap hari berita kamu terbit tuh,” Bunda masih saja mengoceh.
Aku tiba- tiba duduk dan menarik tangan Bunda untuk duduk di depanku.
“Bunda, Pacaran itu Gimana sih? Bunda sebelum nikah sama Ayah pacaran dulu kan? Apa emang harus pacaran dulu sebelum nikah?” aku langsung menghujani Bunda dengan pertanyaan gila ku.

“ Kalau udah bertanya seperti itu, sepertinya Bunda udah bisa nangkap maksud kamu, Non. Siapa sih pria itu? Pria mana yang buat Putri semata wayang Bunda jadi penasaran dengan yang nama nya pacaran, dulu kamu acuh dengan hal seperti itu.”
“Bunda, jangan cerita ke Ayah ya, Non bisa di gantung kalau Ayah tau. Non suka sama pria itu, gak tau ko’sampai gini ya rasanya. Sesak banget di dada. Tapi ketika berpapasan, Non berusaha tidak terlihat jelas salah tingkahnya. Bantu Non dong Bunda. Jangan sampai pria itu tahu. Muka Non mau di simpan dimana coba?” kataku nyerocos di depan bunda.

"Nak, tidak ada yang salah ketika kita menyukai seseorang. Semua orang di dunia ini boleh mencintai siapa saja. Termasuk jika kamu menyukai pria itu. Siapapun berhak merasa mencintai dan di cintai. Tapi ingat ya Nak, batas suka seseorang kepada lawan jenis nya itu hanya Empat Bulan, lebih dari itu bukan lagi suka, tapi Cinta. Maka pahami dulu dirimu, pahami hatimu. Dan disitu kamu akan mendapatkan jawaban dari semua jawaban yang kamu inginkan," ujar bunda seraya mengelus rambutku. 
Obrolan malam itu terhenti sejenak. Tiba-tiba suara mobil ayah terdengar dari luar. Aku pun bergegas membukakan pintu. Aku sambut ayah dengan senyuman mungil. Ayah mengelus-elus rambutku seraya mencium keningku.
“kenapa anak ayah jam segini udah dirumah? Tumben banget kamu duluan datang dari ayah. Biasanya kalau ayah nelpon kamu bilangnya lagi rapat di redaksi, nyaris ngalahin sibuknya ayah di kantor.”

“ayah ya gak syukur anaknya pulang jam segini. Itu artinya Ashima lagi gak sibuk-sibuk amat, yah.” Kataku sambil membawa jas kerja ayah ke kamar.

Suasana harmonis dalam keluargaku harus tetap terjaga, sebab ayah dan ibu Cuma punya aku. Dan tidak ingin membuatu kecewa dengan masalah kecil apapun yang terjadi dirumah. Di umurku yang ke 20 tahun ini, tak pernah ada prahara dalam rumah tangga Ayah dan Bunda. Dan aku bersyukur kepada Tuhan atas nikmat itu.
Makan malam usai, aku bergegas naik ke kamarku dan sebisaku untuk tidur lebih awal. Karena kesibukanku menanti esok harinya. Dan tentunya aku ingin cepat bisa melihat “Dia” di kampus.

Ayam jantan mulai bersahut-sahutan. Aku terbangun dan melaksanakan kewajibanku di subuh yang masih pekat diselubungi kabut itu. Aku bersujud merendahkan segala yang ada pada diriku. Sesungguhnya apalah dayaku tanpa uluran tangan Tuhan. Aku merasa seluruh resah dan gelisahku tak ada yang mampu menampungnya kecuali tuhan yang maha segalanya.

Di sela-sela Doa ku, aku menyelipkan sosok pria yang ingin aku perkenalkan pada-Nya. Pria yang diam-diam mencuri perhatianku. Aku memohon agar tak serakah. Aku ingin menjalaninya tanpa ada seorang pun tahu kalau aku menyukai pria itu. Aku ingin pada saat nya nanti, saat bunga sakura berguguran, saat mawar di taman mekar dengan anggunnya, saat itu pula aku ingin Ia datang padaku atas utusan Tuhan, dan Ia mengatakan padaku “ Aku ingin meminangmu, Ashima”.
Dongeng. Semua orang akan beranggapan bahwa aku terobsesi dengan kehidupan di alam dongeng. Dimana letak kesalahanku ketika aku menginginkan kehidupan yang tenteram dan damai? Aku berjalan tanpa melihat sekelilingku, kepalaku rasanya enggan aku dongakkan. Aku kesal, aku marah, entah mengapa hatiku tiba-tiba gundah gulana. Ketika wartawan lagi galau semua hal jadi di acuhkan. Tangis pun tak dapat dihindari.

Berkulit hitam, hoby berkelahi, postur tubuh ideal, atletis. Pria yang selalu menaruh tas di paha dan bukan di bahu. Aneh kan? dialah pria yang membuatku juga semakin aneh. Pria yang berusaha menurunkan lemak di kedua pipinya, padahal justru itu satu dari berbagai alasan yang membuat aku tertarik padanya. Pria yang latar belakang pendidikan Pesantren itu dengan lancang membuatku tak memalingkan sedikit pun pandanganku pada pria lain.

Cepat atau lambat, toh Ia akan tahu perihal aku menyukainya. Hatiku sudah kebal, tak mengapa jika sedikit tergores. Aku tak akan pernah tahu cinta itu nikmat jika aku tak pernah merasakan perihnya luka yang ditimbulkan.

Malam yang pekat, kami saling beradu argumen, dengan senyum itu kami duduk berdampingan, menatapmu dalam, berusaha menjadi pendengar yang baik. Malam itu kita berjodoh. Yaa.. mungkin hanya malam itu. Aku tak yakin raut wajahmu akan tetap tersenyum jika dirimu tahu bahwa aku memiliki rasa terhadapmu. Ataukah dirimu malah menghindar dan menjaga jarak denganku.
Sakit.. Namun lebih sakit ketika aku tak pernah mengungkapkannya padamu. Toh aku tak melanggar Undang-undang Pers jika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu. Dalam kode etik jurnalistik ada yang namanya hak tolak dan hak jawab. Kamu berhak menjawab bahkan menolak jika aku terlalu asing bagimu, dan untuk kehidupanmu kedepannya.

Senja itu, aku mencoba menebak-nebak apa yang kamu pikirkan ketika kita berdiri bersebelahan. Hatimu gusarkah? Hatimu berkecamukkah? Atau kalimatku ini tak sedikitpun mengetuk ruang di relung hatimu?

Di akhir cerita pendek yang ku rangkai ini, tentu akan menjadi saksi bisu bahwa aku pernah menaruh hati padamu. Sungguh aku Terkesima padamu. Susah bagiku menjelaskan asal muasal perasaan ini muncul. Aku rasa ini cara terbaik ketika Penulis Jatuh Cinta.

Goresan Penaku: Ashima

Jumat, 30 oktober 2015





 

Goresan Pena Ashima Template by Ipietoon Cute Blog Design