Assalamualaikum, ini tulisanku edisi Oktober. silahkan dikonsumsi dengan baik. yang baik diambil, yang jelek dibuang saja. silahkan kritik dan saran dikolom komentar. Terima Kasih...
TERKESIMA
Terkadang
tak perlu berharap ketika hal itu sudah tak pasti menjadi milik kita, hanya
saja ada satu diantara banyak hal yang ingin aku pertahankan agar harapan itu
tak berakhir luka. Aku ingin mempertahankan apa yang ku yakini sesuatu itu
kelak akan ku genggam.
Rasaku
tak henti-hentinya bergejolak, ku rasakan candu yang kian membumbung. Mungkin
itu sisa tangis kemarin yang enggan ku bisikkan pada siapa pun. Meskipun pada
rembulan yang sedang bertengger di ranting pohon perdu sekalipun.
Aku
khidmat menatap kearahnya. Berdiri di balik tembok raksasa pun aku mampu
merasakan detak jantungnya. Tak perduli apa yang akan terjadi padaku ketika hal
ini tak berbalas. Mungkin hanya sedikit mengalami pendarahan di hati dan
pembekuan rasa di setiap sendi-sendiku.
Tiba-tiba
saja... “BRAAKK” sentakan tangan itu mengagetkan ku. Tak lain dan tak bukan itu
pasti Gilang. Cowok resek yang selalu membuatku kesal jika berada didalam
ruangan dengannya. Meskipun dia begitu resek, di sisi lain dia memiliki sifat
yang tidak banyak diketahui oleh teman-teman sekelas. Sifat lembut itu ternyata
masih ada dalam diri Gilang. Sosok yang tak akan pernah di pandang baik oleh
sebagian orang karena sifat ke kanak-kanakan yang tak bisa ia kontrol. Salah
dalam menyampaikan maksud baik, hingga tak jarang ia dihiraukan. Aku
terperangah saat tak sengaja melihatnya sore itu berdiri di dekat toko bunga
yang berada dipersimpangan jalan. Saat ku pakai kacamataku, sepertinya aku tak
salah liat. Gilang sedang berlutut di hadapan gadis itu. Dari gelagatnya, aku
bisa menangkap apa yang tergambar dari suasana sore menjelang senja itu.
“Mungkinkah
cinta dapat mengubah keseluruhan sifat seseorang?” sepanjang perjalanan aku
termenung. Gilang bukan sosok orang yang mudah jatuh cinta. Aku tau persis
sifatnya, dengan perlahan aku mempelajari karakter orang yang sering berada di
sekitarku, termasuk Gilang. Rupanya Tuhan punya rencana istimewa untuk setiap
hambanya. Tuhan ingin merubah sifat Gilang lewat tangan Gadis berjilbab itu.
Cinta mengalahkan kehendak sang Empunya.
Malam
yang dihiasi langit hitam nan pekat dan hembusan semilir riuh angin yang
menusuk tulang-tulangku ini, aku duduk dengan kaki bersilah. Dan ingatanku
tentang Gilang hadir. Temanku itu, benar-benar beruntung. Ia akhirnya dapat
menikahi bidadari surganya setelah mendapat beasiswa ke London untuk
melanjutkan kuliah dengan gelar Master. Kado super double yang Tuhan janjikan
itu tak pernah diingkarinya.
Perasaan
tertarik kepada lawan jenis itu selalu hadir, itu manusiawi menurutku. Anehnya,
ketika ada sosok yang aku sukai, rupanya Tuhan menjauhkan ia dariku. Dan ketika
aku tak pernah berharap pada lelaki manapun, tiba-tiba Tuhan menghadirkan sosok
yang tak pernah aku sangka. Aku belajar dari itu semua. Aku berusaha
menenggelamkan sedalam mungkin perasaanku pada “Dia”. Meskipun saat melihatnya
dari kejauhan sekalipun, hatiku berdebar tak karuan.
Bukanlah
Cinta jika tak merasakan getaran jiwa yang luar biasa, semua insan memiliki
respon yang sama pada pujaannya. Aku berpikir bagaimana membangun Human Relation yang baik meskipun saat
sedang bertatap muka dengannya, dalam konteks wawancara. Yaa.. aku seorang
wartawan kampus di sebuah Universitas ternama di kota Makassar. Aku mengenal
banyak orang. Aku berbaur dengan berbagai kalangan baik dari tingkat strata
sosial rendah hingga menengah keatas. Demi mendapatkan informasi untuk suatu
lembaga dimana aku bernaung di dalamnya.
Membutuhkan
waktu lama untuk aku mendapatkan liputan khusus. Namun terkadang karena
keberuntungan, tiba-tiba pada suatu waktu Tuhan mempertemukan aku dengannya.
Sekuat tenaga mempertahankan mimik wajah ku. Sesekali mengusap telapak tanganku
ke kemeja yang ku kenakan agar ketika berjabat tangan tak terkesan kalau aku
gugup. Waaah... untuk pertama kalinya aku grogi mewawancarai orang. Baru pertama
kali ada keturunan Adam yang membuatku ingin lari saat wawancara akan di mulai.
“Bissmillah,
Tuhan jangan buat aku kalah di depan iblis yang selalu menghasutku. Jangan
biarkan aku terlihat aneh di hadapan pria ini. Buat pertemuan kami kali ini
berkesan, setidaknya untuknya,” Hatiku berkecamuk.
Aku
menutup telepon dengan segera, dan berlari menuruni anak tangga dengan
hati-hati, setibanya di lantai dasar, aku tercengang. Pria ini yang tadi
berjalan di belakangku. Aku segera bertanya perihal Profil Lembaga yang akan di
angkat pada terbitan Tabloid edisi kali ini. Aku seketika terpaku. Terasa
bibirku tak bisa berucap saat menatap matanya.
Ku
buka pintu Redaksi dan menutupnya segera. Terdiam sejenak, seketika aku bersandar
di tembok dan terasa getaran jantungku tak seperti biasanya.
“Oh
Tuhan, serasa dadaku ingin meledak. Semoga ini bukan nafsu semata.
Hambamu terkesima oleh makhluk ciptaanmu itu,” perlahan aku menjulurkan kedua
kakiku yang sedang gemetaran.
Sesampainya
di rumah, aku menghempaskan tubuh ku tanpa melepas alas kaki. Wajah yang kusam,
pakaian yang acak-acakkan, menuntutku untuk segera membersihkan diri sebelum
Bunda mengoceh dari ruang tamu. Setelah beres, aku menghampiri Bunda di dapur
dan membantu menyiapkan makan malam. Sesekali aku tersenyum, rupanya Bunda memperhatikan
tingkahku yang aneh itu.
“apa
yang sedang kamu pikirkan Ashima? Bunda perhatikan kamu tersenyum terus
semenjak keluar dari kamarmu. Apa ada yang lucu dari penampilan Bunda? Ini baju
Ayah kamu yang belikan loh, apa tampak tidak bagus Bunda kenakan?”
Aku
tertawa geli mendengar ocehan Bunda yang nampaknya tersinggung oleh sikapku.
“
Bukan gitu Bunda, Bunda cantik banget malam ini, apalagi memakai baju pemberian
Ayah itu. Ashima gak lagi menertawakan Bunda, ada sesuatu hal yang sedang
bersarang di pikiran ku Bun. Dan itu Bunda gak harus tahu ya,” Kataku terkekeh
“Hal
apa kali ini yang membuat Putri satu-satunya Bunda ini begitu bahagia. Biasanya
nih kalau bahagia gini pasti karena berita kamu terbit lagi. Perasaan Bunda
setiap hari berita kamu terbit tuh,” Bunda masih saja mengoceh.
Aku
tiba- tiba duduk dan menarik tangan Bunda untuk duduk di depanku.
“Bunda,
Pacaran itu Gimana sih? Bunda sebelum nikah sama Ayah pacaran dulu kan? Apa
emang harus pacaran dulu sebelum nikah?” aku langsung menghujani Bunda dengan
pertanyaan gila ku.
“
Kalau udah bertanya seperti itu, sepertinya Bunda udah bisa nangkap maksud
kamu, Non. Siapa sih pria itu? Pria mana yang buat Putri semata wayang Bunda
jadi penasaran dengan yang nama nya pacaran, dulu kamu acuh dengan hal seperti
itu.”
“Bunda,
jangan cerita ke Ayah ya, Non bisa di gantung kalau Ayah tau. Non suka sama
pria itu, gak tau ko’sampai gini ya rasanya. Sesak banget di dada. Tapi
ketika berpapasan, Non berusaha tidak terlihat jelas salah tingkahnya. Bantu
Non dong Bunda. Jangan sampai pria itu tahu. Muka Non mau di simpan dimana coba?”
kataku nyerocos di depan bunda.
"Nak, tidak ada yang salah ketika kita menyukai seseorang. Semua orang di dunia ini boleh mencintai siapa saja. Termasuk jika kamu menyukai pria itu. Siapapun berhak merasa mencintai dan di cintai. Tapi ingat ya Nak, batas suka seseorang kepada lawan jenis nya itu hanya Empat Bulan, lebih dari itu bukan lagi suka, tapi Cinta. Maka pahami dulu dirimu, pahami hatimu. Dan disitu kamu akan mendapatkan jawaban dari semua jawaban yang kamu inginkan," ujar bunda seraya mengelus rambutku.
Obrolan
malam itu terhenti sejenak. Tiba-tiba suara mobil ayah terdengar dari luar. Aku
pun bergegas membukakan pintu. Aku sambut ayah dengan senyuman mungil. Ayah mengelus-elus
rambutku seraya mencium keningku.
“kenapa
anak ayah jam segini udah dirumah? Tumben banget kamu duluan datang dari ayah. Biasanya
kalau ayah nelpon kamu bilangnya lagi rapat di redaksi, nyaris ngalahin
sibuknya ayah di kantor.”
“ayah
ya gak syukur anaknya pulang jam segini. Itu artinya Ashima lagi gak
sibuk-sibuk amat, yah.” Kataku sambil membawa jas kerja ayah ke kamar.
Suasana
harmonis dalam keluargaku harus tetap terjaga, sebab ayah dan ibu Cuma punya
aku. Dan tidak ingin membuatu kecewa dengan masalah kecil apapun yang terjadi
dirumah. Di umurku yang ke 20 tahun ini, tak pernah ada prahara dalam rumah
tangga Ayah dan Bunda. Dan aku bersyukur kepada Tuhan atas nikmat itu.
Makan
malam usai, aku bergegas naik ke kamarku dan sebisaku untuk tidur lebih awal. Karena
kesibukanku menanti esok harinya. Dan tentunya aku ingin cepat bisa melihat “Dia”
di kampus.
Ayam
jantan mulai bersahut-sahutan. Aku terbangun dan melaksanakan kewajibanku di
subuh yang masih pekat diselubungi kabut itu. Aku bersujud merendahkan segala
yang ada pada diriku. Sesungguhnya apalah dayaku tanpa uluran tangan Tuhan. Aku
merasa seluruh resah dan gelisahku tak ada yang mampu menampungnya kecuali
tuhan yang maha segalanya.
Di
sela-sela Doa ku, aku menyelipkan sosok pria yang ingin aku perkenalkan
pada-Nya. Pria yang diam-diam mencuri perhatianku. Aku memohon agar tak
serakah. Aku ingin menjalaninya tanpa ada seorang pun tahu kalau aku menyukai
pria itu. Aku ingin pada saat nya nanti, saat bunga sakura berguguran, saat
mawar di taman mekar dengan anggunnya, saat itu pula aku ingin Ia datang padaku
atas utusan Tuhan, dan Ia mengatakan padaku “ Aku ingin meminangmu, Ashima”.
Dongeng.
Semua orang akan beranggapan bahwa aku terobsesi dengan kehidupan di alam
dongeng. Dimana letak kesalahanku ketika aku menginginkan kehidupan yang tenteram
dan damai? Aku berjalan tanpa melihat sekelilingku, kepalaku rasanya enggan aku
dongakkan. Aku kesal, aku marah, entah mengapa hatiku tiba-tiba gundah gulana. Ketika
wartawan lagi galau semua hal jadi di acuhkan. Tangis pun tak dapat dihindari.
Berkulit hitam, hoby berkelahi, postur tubuh ideal, atletis. Pria yang selalu menaruh tas di
paha dan bukan di bahu. Aneh kan? dialah pria yang membuatku juga semakin aneh.
Pria yang berusaha menurunkan lemak di kedua pipinya, padahal justru itu satu dari berbagai alasan yang
membuat aku tertarik padanya. Pria yang latar belakang pendidikan Pesantren itu
dengan lancang membuatku tak memalingkan sedikit pun pandanganku pada pria lain.
Cepat
atau lambat, toh Ia akan tahu perihal aku menyukainya. Hatiku sudah kebal, tak
mengapa jika sedikit tergores. Aku tak akan pernah tahu cinta itu nikmat jika
aku tak pernah merasakan perihnya luka yang ditimbulkan.
Malam
yang pekat, kami saling beradu argumen, dengan senyum itu kami duduk
berdampingan, menatapmu dalam, berusaha menjadi pendengar yang baik. Malam itu
kita berjodoh. Yaa.. mungkin hanya malam itu. Aku tak yakin raut wajahmu akan
tetap tersenyum jika dirimu tahu bahwa aku memiliki rasa terhadapmu. Ataukah
dirimu malah menghindar dan menjaga jarak denganku.
Sakit..
Namun lebih sakit ketika aku tak pernah mengungkapkannya padamu. Toh aku tak
melanggar Undang-undang Pers jika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu. Dalam
kode etik jurnalistik ada yang namanya hak tolak dan hak jawab. Kamu berhak
menjawab bahkan menolak jika aku terlalu asing bagimu, dan untuk kehidupanmu
kedepannya.
Senja
itu, aku mencoba menebak-nebak apa yang kamu pikirkan ketika kita berdiri
bersebelahan. Hatimu gusarkah? Hatimu berkecamukkah? Atau kalimatku ini tak
sedikitpun mengetuk ruang di relung hatimu?
Di
akhir cerita pendek yang ku rangkai ini, tentu akan menjadi saksi bisu bahwa
aku pernah menaruh hati padamu. Sungguh aku Terkesima padamu. Susah bagiku
menjelaskan asal muasal perasaan ini muncul. Aku rasa ini cara terbaik ketika
Penulis Jatuh Cinta.
Goresan
Penaku: Ashima
Jumat, 30 oktober 2015
TERKESIMA
Jumat, 30 oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar