Terkesima
II: Kepentok Pria Bersabuk Merah
“Aku
mengagumimu.” Dua kata itu membuat hatiku merunduk. Aku terpaku diujung jalan,
lagi-lagi aku enggan beranjak, melangkahkan hatiku pada orang lain pun aku
enggan. Tiba-tiba tetesan buih menetes dari pelupuk mata. Membasahi tanah yang
kering kerontang itu. masih terpaku disana di persimpangan jalan, entah aku
ingin melangkah kearah yang mana. Takut salah langkah.
Jemari-jemariku
terasa kaku, tak lagi mampu ku gerakkan. Aku benar-benar terkagum akan
pandanganmu. Konsekuensinya aku tak mampu mengerjakan naskah keramat yang
menjadi rutinitasku. Semua terbengkalai. Bagaimana mungkin menyukai seseorang
hingga tersesat seperti ini?
Di
bawah Rinai hujan aku mencoba melukis aksara, menerjemahkan melodi indah yang
berusaha disampaikan hujan padaku. Kata orang, dibalik butiran hujan, ada satu
malaikat yang menemaninya turun kebumi, maka berdoalah sehingga para malaikat
mengijabah doa mu.
***
Aku
pernah mendengar bahwa usaha takkan mengkhianati hasilnya. Aku percaya itu.
Kesabaranku menanti perasaan ini yang bermula dari kagum hingga berubah menjadi
cinta itu bagiku luar biasa. Meksipun aku jalani dengan setumpuk rasa sesak di
dasar hati.
Tak
pernah kupaksaan rasaku untuk bertahan selama ini. Ku persilahkan ia pergi jika
memang hatiku sudah tak mampu menampungnya. Namun, saat-saat seperti itu tak
pernah aku dapatkan selama Empat bulan memendamnya.
Tau
kah kau kapan hatiku merasa tenang, damai, bahkan membuat tanganku tak berhenti
gemetaran? Yakni saat kita duduk berdampingan. Tau kah kau, kapan bebanku
berkurang, bahkan tak memkirkan sedikit pun tugas liputanku? Yakni saat kita
saling melontarkan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Seperti itulah aku
yang sebenarnya berada didekatmu. Bahkan apakah kau tau, mataku yang
sipit ini bisa melihatmu kapan saja. Aneh bukan?
Suatu
ketika sepekan tak melihat sosokmu. Kau tau apa yang aku lakukan? Laptop,
gadget, dua buah tablet, bahkan kamera milikku semua dipenuhi sosokmu. Allah
adil bukan? Tak memberiku ruang selama sepekan untuk melihatmu, tapi toh
rupanya kau selalu ada disampingku. Itu alasan mengapa gadgetku tak pernah lepas
dari genggaman.
“apa
sih keistimewaan pria itu? sampai-sampai kau rela mempertaruhkan perasaanmu
untuk nya? sedangkan ada pria lain yang justru sedang jatuh hati pula padamu.
Yang pasti-pasti aja deh Ashima, tak usah menanti hal yang kau pun tak yakin
kisah selanjutnya seperti apa,” celoteh Adiba salah seorang sahabatku.
Aku
tercengang mendengar pernyataan Adiba. Kalimat yang keluar dimulutnya seakan-akan
memborbardir pikiranku. Benar-benar kumasukkan dalam hati kata-kata Adiba,
memikirkan sederet kalimat itu semalam suntuk. “Aku tak sanggup” kini hanya
Allah yang dapat membantuku.
Lagi-lagi
teman curhat sejati tak pernah bosan mendengar kerisauanku. Allah seringkali
mendengar tetesan air mataku. Tik..tik..tik.. tak terhitung banyaknya. “Thanks
God, aku kuat sekarang,” menutup curhatan di sepertiga malam terakhir itu
dengan senyum kecil diwajahku.
Sekarang
tak ada pria lain yang sedang aku jaga hatinya selain dia. Masih hatinya. Masih
dengan orang yang sama. Tak masalah jika dia sosok yang hoby berkelahi. Asalkan
itu diatas matras kejuaraan. Masih dia, pria bersabuk merah. :)
***
Hay
gaess.. aku Ashima, thanks untuk para secret
reader yang dengan senang hati mau membaca tulisanku. Dengan sabar menanti
tulisa-tulisanku. Ashima sadar kalau tulisanku selama ini masih banyak
kekurangan. Maka dari itu jangan bosan-bosan juga ya kritik dan sarannya buat
tulisan-tulisan ashima selanjutnya.
Tokoh
sentral dalam kisah diatas masih rahasia. Sebenarnya ini adalah kisah terakhir
yang ingin Ashima tulis khusus buat si someone
ini, empat bulan rasanya cukup buat Ashima memperlihatkan rasa kagum sampai
pada akhirnya cinta adanya. tunggu kelanjutan kisah ini di buku kedua Ashima
yang berjudul “CATATAN CINTA SANG JURNALIS”
BYE..BYE.. :) :)
By: Ashima
Kamis, 3 Desember 2015
Kamis, 3 Desember 2015